Jumat, 08 Agustus 2025

Peri Togel Pinggir Kali Ole


Esse - Dewo, atau yang lebih dikenal dengan nama panggung ‘Mbah Dewo’, adalah sebuah anomali berjalan. Tubuhnya ceking seperti lidi, seragam SMP-nya selalu terlihat kebesaran, tapi reputasinya di dunia gaib sudah setara paranormal senior di acara televisi. Kalau ada teman sekelas yang kesurupan jin iseng atau diganggu kuntilanak galau, Dewo-lah pawangnya. Karena itulah, panggilan "Mbah" melekat padanya lebih erat daripada cicilan panci ibunya.

Suatu siang yang terik di kantin, saat es teh terasa seperti air surga, Gepeng, biang keladi di kelas, membuka topik pembicaraan. 

"Eh, Mbah," katanya sambil mencomot bakwan Dewo tanpa merasa dosa. 

"Lo pernah denger soal peri di pohon beringin seberang Kali Ole, nggak? Katanya bisa ngasih nomor togel, tuh."

Teman-teman lain yang sedang sibuk meniup kuah mi instan langsung menoleh.

"Wah, bahaya itu, ntar minta tumbal" sahut Dewo, mencoba terdengar bijak. Padahal dalam hati ia hanya malas berurusan dengan makhluk astral yang tidak ada dalam kurikulum sekolah.

"Halah, Mbah, kalau sakti mandraguna, masa nomor togel aja nggak bisa ditembusin?" cibir Tono, yang badannya paling besar tapi otaknya paling irit. 

"Sakti kepala lu peang" balas Dewo

"Ayolah, Mbah! Sekali ini aja. Nanti kalau tembus, Mbah kita beliin motor!"

Awalnya Dewo menolak mentah-mentah. Tapi desakan teman-temannya yang lebih mirip rentenir nagih utang akhirnya meluluhkan pertahanannya. 

"Oke, oke! Gue coba!" seru Dewo akhirnya. "Tapi ada syaratnya! Kalau perinya muncul, nggak ada yang boleh kabur!"

"Siap, Mbah!" jawab mereka serempak dengan keyakinan palsu.

Baca juga : Senja di Lerep, Harapan yang Bersemi

Malam Jumat Kliwon pun tiba. Berbekal kemenyan yang dibeli dari uang patungan, Dewo duduk bersila di bawah pohon beringin yang angkernya minta ampun. Teman-temannya, Gepeng, Tono, dan beberapa lainnya, duduk melingkar di belakangnya, pura-pura berani padahal saling senggol kalau ada suara ranting patah.Dewo mulai membakar kemenyan, mulutnya komat-kamit merapal mantra yang ia improvisasi dari lirik lagu dangdut koplo. Satu jam berlalu, tidak ada apa-apa. Hanya nyamuk yang berpesta pora di kulit mereka.

"Lama amat, Mbah? Perinya lagi nonton sinetron kali, ya?" bisik Gepeng, mulai bosan.

Tepat saat mereka hampir menyerah, angin tiba-tiba berdesir, membawa aroma melati yang wangi tapi bikin bulu kuduk disko. Lalu, dari balik kegelapan, terdengar suara tawa perempuan yang melengking. "Hihihihihi..."

Seketika itu juga, perjanjian dilupakan. Gepeng dan Tono memimpin eksodus massal, lari tunggang langgang seperti dikejar satpol PP. Menyadari dirinya ditinggal sendirian, Dewo pun tak punya pilihan. Sambil mengumpat dalam hati, ia ikut lari terbirit-birit menuju kamar kosnya.Sesampainya di kamar, Dewo mengunci pintu dan langsung merebahkan diri, jantungnya masih maraton. 

"Dasar teman-teman kampret! Janji doang!" dumelnya pada cicak di dinding.Ketika matanya hampir terpejam, bau melati yang tadi menusuk hidungnya kembali tercium. Kali ini jauh lebih pekat, memenuhi kamar kosnya yang sempit. Dewo terlonjak kaget. Di sudut kamarnya yang gelap, berdiri sesosok wanita cantik dengan gaun putih tembus pandang. Wajahnya pucat pasi, tapi senyumnya merekah. Peri itu telah mengikutinya pulang.

"Kenapa lari, manis?" suara si peri terdengar merdu namun menuntut. "Aku mau kasih nomor, tapi ada syaratnya. Peluk dan cium aku dulu."

Mata Dewo melotot. Ini lebih seram dari ulangan matematika mendadak. "Nggak mau!" teriaknya.

"Harus mau!" balas si peri, senyumnya berubah menjadi seringai.

Maka, terjadilah adegan kejar-kejaran paling absurd dalam sejarah dunia gaib. Dewo berlari mengelilingi kamarnya yang berukuran 3x3 meter, sementara si peri melayang santai mengejarnya. Lemari reyot diguncang, tumpukan buku pelajaran berhamburan, poster grup musik K-Pop di dinding sampai miring. Akhirnya, Dwi tersandung kabel kipas angin dan jatuh. Si peri dengan cepat menangkapnya, memeluknya erat dengan tubuh yang dingin seperti es, dan mendaratkan ciuman basah di pipinya.

Setelah melepaskan Dwi yang lemas tak berdaya, si peri membisikkan empat angka di telinganya. "Itu nomornya," katanya, lalu menghilang dalam sekejap, meninggalkan bau busuk yang luar biasa menyengat, seperti bau bangkai tikus yang sudah berbulan-bulan.

Keesokan harinya di sekolah, Dwi dengan wajah kusut dan hati dongkol memberikan nomor itu kepada teman-temannya. Mereka semua bersorak gembira, tak peduli dengan cerita horor Dewo semalam.

Keanehan dimulai saat pelajaran pertama. Satu per satu murid di kelas mulai menutup hidung.

"Bau apa ini, kok busuk sekali?" tanya Bu Guru sambil mengendus-endus.

Semua murid mulai mencari sumber bau. Setelah saling tuduh, akhirnya semua telunjuk mengarah ke satu titik: Dewo.

"Dewo! Kamu tidak mandi, ya? Baumu busuk sekali!" hardik Bu Guru.

"Saya nggak cium apa-apa, Bu!" bela Dewo, panik. Ia benar-benar tidak mencium bau apa pun.

"Sudah, sudah! Kamu pulang saja sekarang! Bikin satu kelas tidak konsentrasi!"

Dengan perasaan malu dan bingung, Dewo diusir dari sekolah. Selama seminggu penuh ia tidak bisa masuk karena bau busuk tak kasat mata itu terus menempel di badannya, bau yang hanya bisa dicium oleh orang lain. Meskipun akhirnya ia mendapat bagian juga dari uang kemenangan togel teman temannya, Dwi merasa itu semua tidak sepadan. Ia kapok, dan bersumpah tidak akan pernah lagi mau berurusan dengan Peri Togel mana pun. Uang di tangan, bau busuk di badan. Sungguh sebuah kemenangan yang tragis. Sikak !!

Postingan Populer